WELCOME TO MY BLOG

Sabtu, 19 Juni 2010

Cermin yang Terlupakan





Pada suatu ketika, sepasang suami istri, katakanlah nama mereka Smith,
mengadakan 'garage sale' untuk menjual barang-barang bekas yang tidak
mereka butuhkan lagi. Suami istri ini sudah setengah baya, dan anak-anak
mereka telah meninggalkan rumah untuk hidup mandiri.


Sekarang waktunya untuk membenahi rumah, dan menjual barang-barang yang
tidak dibutuhkan lagi.

Saat mengumpulkan barang-barang yang akan dijual, mereka menemukan
benda-benda yang sudah sedemikian lama tersimpan di gudang. Salah satu di
antaranya adalah sebuah cermin yang mereka dapatkan sebagai hadiah
pernikahan mereka, dua puluh tahun yang lampau.

Sejak pertama kali diperoleh, cermin itu sama sekali tidak pernah
digunakan. Bingkainya yang berwarna biru aqua membuat cermin itu tampak
buruk, dan tidak cocok untuk diletakkan di ruangan mana pun di rumah
mereka. Namun karena tidak ingin menyakiti orang yang menghadiahkannya,
cermin itu tidak mereka kembalikan. Demikianlah, cermin itu teronggok di
loteng. Setelah dua puluh tahun berlalu, mereka berpikir orang yang
memberikannya tentu sudah lupa dengan cermin itu. Maka mereka
mengeluarkannya dari gudang, dan meletakkannya bersama dengan barang lain
untuk dijual keesokan hari.

Garage sale mereka ternyata mendapat banyak peminat. Halaman rumah mereka
penuh oleh orang-orang yang datang untuk melihat barang bekas yang mereka
jual. Satu per satu barang bekas itu mulai terjual. Perabot rumah tangga,
buku-buku, pakaian, alat berkebun, mainan anak-anak, bahkan radio tua yang
sudah tidak berfungsi pun masih ada yang membeli.

Seorang lelaki menghampiri Mrs. Smith.

"Berapa harga cermin itu?" katanya sambil menunjuk cermin tak terpakai
tadi. Mrs. Smith tercengang.

"Wah, saya sendiri tidak berharap akan menjual cermin itu. Apakah Anda
sungguh ingin membelinya?" katanya.

"Ya, tentu saja. Kondisinya masih sangat bagus." jawab pria itu. Mrs. Smith
tidak tahu berapa harga yang pantas untuk cermin jelek itu. Meskipun sangat
mulus, namun baginya cermin itu tetaplah jelek dan tidak berharga.

Setelah berpikir sejenak, Mrs. Smith berkata, "Hmm .... anda bisa membeli
cermin itu untuk satu dolar."

Dengan wajah berseri-seri, pria tadi mengeluarkan dompetnya, menarik
selembar uang satu dolar dan memberikannya kepada Mrs. Smith.

"Terima kasih," kata Mrs. Smith, "Sekarang cermin itu jadi milik Anda.
Apakah perlu dibungkus?"

"Oh, jika boleh, saya ingin memeriksanya sebelum saya bawa pulang." jawab
si pembeli.

Mrs. Smith memberikan ijinnya, dan pria itu bergegas mengambil cerminnya
dan meletakkannya di atas meja di depan Mrs. Smith. Dia mulai mengupas
pinggiran bingkai cermin itu. Dengan satu tarikan dia melepaskan lapisan
pelindungnya dan muncullah warna keemasan dari baliknya.

Bingkai cermin itu ternyata bercat emas yang sangat indah, dan warna biru
aqua yang selama ini menutupinya hanyalah warna dari lapisan pelindung
bingkai itu!

"Ya, tepat seperti yang saya duga! Terima kasih!" sorak pria itu dengan
gembira. Mrs. Smith tidak bisa berkata-kata menyaksikan cermin indah itu
dibawa pergi oleh pemilik barunya, untuk mendapatkan tempat yang lebih
pantas daripada loteng rumah yang sempit dan berdebu.

Kisah ini menggambarkan bagaimana kita melihat hidup kita. Terkadang kita
merasa hidup kita membosankan, tidak seindah yang kita inginkan. Kita
melihat hidup kita berupa rangkaian rutinitas yang harus kita jalani. Bangun
pagi, pergi bekerja, pulang sore, tidur, bangun pagi, pegi bekerja, pulang
sore, tidur. Itu saja yang kita jalani setiap hari.

Sama halnya dengan Mr. dan Mrs. Smith yang hanya melihat plastik pelapis
dari bingkai cermin mereka, sehingga mereka merasa cermin itu jelek dan
tidak cocok digantung di dinding. Padahal dibalik lapisan itu, ada warna
emas yang indah.

Padahal di balik rutinitas hidup kita, ada banyak hal yang dapat memperkaya
hidup kita.

Setiap saat yang kita lewati, hanya bisa kita alami satu kali seumur hidup
kita. Setiap detik yang kita jalani, hanya berlaku satu kali dalam hidup
kita. Setiap detik adalah pemberian baru dari Tuhan untuk kita.

Akankah kita menyia-nyiakannya dengan terpaku pada rutinitas?

Akankah kita membiarkan waktu berlalu dengan merasa hidup kita tidak
seperti yang kita inginkan?

Setelah dua puluh tahun, dan setelah terlambat, barulah Mrs. Smith
menyadari nilai sesungguhnya dari cermin tersebut. Inginkah kita menyadari
keindahan hidup kita setelah segalanya terlambat? Tentu tidak.


Sebab itu, marilah kita mulai mengikis pandangan kita bahwa hidup hanyalah
rutinitas belaka. Mari kita mulai mengelupas rutinitas tersebut dan
menemukan nilai sesungguhnya dari hidup kita.

Marilah kita mulai menjelajah hidup kita, menemukan hal-hal baru, belajar
lebih banyak, mengenal orang lebih baik.

Mari kita melakukan sesuatu yang baru.

terkadang kita tidak menyadari begitu besar potensi yg tersimpan di dlm diri kita,, tertutup oleh perasaan kita yg merasa kali diri kita itu biasa2 saja, padahal luar biasa.

Mari kita membuat perbedaan

"BELAJAR DARI AWAN"


Hari itu satu pekan panjang yang penuh dengan kesibukan mengajar
keliling negeri telah kulewati sekali lagi. Seperti biasa aku ingin
menikmati situasi santai dalam penerbangan pulang, membaca yang
ringan-ringan, bahkan memejamkan mata beberapa menit bilamana sempat.
Kendatipun demikian, aku mencoba menerima apa pun yang akan terjadi.

Maka biasanya aku mengucapkan doa pendek berikut: Siapa pun yang
Kautakdirkan duduk di sebelahku, biarlah ia seperti apa adanya, dan
bantulah aku agar dapat menerima apa pun yang tersedia bagiku.

Pada hari yang khusus ini, ketika aku masuk ke dalam pesawat, ternyata
seorang anak kecil, sekitar delapan tahun, duduk pada kursi dekat
jendela di sebelahku. Aku menyukai anak-anak. Namun, aku sedang merasa
lelah. Naluri pertamaku adalah, 'Apa boleh buat, aku tak tahu nasibku
kali ini.' Dengan berusaha bersikap ramah, aku menyapanya dan
mengajaknya berkenalan. Ia menyebutkan namanya, Bradley. Kami langsung
mengobrol dan, hanya dalam beberapa menit, ia menaruh kepercayaan
kepadaku, dengan berkata, "Ini pertama kali saya naik pesawat. Saya agak
takut."

Ia bercerita kepadaku bahwa ia dan keluarganya baru menjenguk
sepupu-sepupunya, dan ia diminta tinggal lebih lama sedangkan
orangtuanya pulang terlebih dahulu. Kini ia pulang sendirian, dengan
pesawat terbang.

"Naik pesawat itu keciiil," kataku, berusaha menumbuhkan keyakinannya.

"Mungkin dapat dianggap salah satu yang paling mudah di antara yang
pernah kaulakukan." Aku diam sejenak, untuk berpikir, dan kemudian aku
bertanya kepadanya, "Pernahkah kau naik roller coaster?"
"Saya senang naik roller coaster!"
"Pernahkah kau menaikinya tanpa berpegangan?"
"Oh, ya. Saya seneng sekali." Ia tertawa. Sementara aku berpura-pura
ketakutan.

"Pernahkah kau naik di depan?" tanyaku lagi dengan wajah pura-pura
merasa ngeri.
"Ya. Saya selalu berusaha mendapatkan tempat duduk paling depan!"

"Dan kau tidak merasa takut?"
Ia menggelengkan kepalanya, tampaknya ia kini telah merasa berhasil
mengimbangi aku.

"Sesungguhnyalah, penerbangan ini tidak seberapa dibanding naik roller
coaster.
Aku tidak berani naik roller coaster, tapi aku tidak takut sama sekali
bila naik pesawat terbang."

Seulas senyum mulai tampak pada wajahnya, "Betulkah itu?" Aku dapat
melihat bahwa ia mulai berpikir bahwa mungkin ia memang pemberani.

Pesawat mulai ditarik menuju ke ujung landasan. Dan ketika akhirnya
pesawat itu meluncur naik, ia memandang ke luar jendela dan mulai
bercerita dengan sangat bersemangat tentang segala yang dialaminya. Ia
mengomentari bentuk-bentuk awan yang dilihatnya, dan gambar-gambar yang
seolah-olah telah dilukis di angkasa. "Awan yang ini seperti kupu-kupu,
dan yang itu kelihatan seperti seekor kuda!"

Tiba-tiba, aku juga melihat melalui mata seorang anak usia delapan
tahun. Rasanya seolah-olah aku baru pertama kali itu terbang.

Belakangan Bradley bertanya tentang pekerjaanku. Aku bercerita tentang
pelatihan yang kuselenggarakan, dan mengatakan bahwa aku juga
membintangi iklan untuk radio dan televisi.

Matanya langsung bersinar. "Saya dan adik saya pernah menjadi bintang
iklan televisi."

"Oh, ya? Bagaimana rasanya?"

Ia bercerita bahwa pengalaman itu sangat mengesankan.

Kemudian ia berkata bahwa ia perlu ke kamar kecil.

Aku berdiri agar ia dapat keluar ke gang. Saat itulah aku melihat alat
penguat pada kedua kakinya. Bradley beringsut-ingsut menuju ke kamar
kecil di belakang.

Ketika ia duduk kembali, ia menerangkan, "Saya menderita distrofi otot.
Adik perempuan saya juga - ia bahkan harus memakai kursi roda. Itu
sebabnya kami menjadi bintang iklan. Kami dijadikan contoh untuk
anak-anak yang menderita distrofi otot."

Waktu pesawat mulai turun, ia memandang kepadaku, tersenyum, dan bicara
dengan nada yang agak-agak malu, "Tahukah Anda, saya betul-betul
khawatir tentang siapa yang akan duduk di sebelah saya di pesawat. Saya
takut ia orang yang ketus, yang tidak mau bicara dengan saya. Saya
senang bisa duduk bersebelahan dengan Anda."

Ketika mengenang seluruh pengalaman itu pada malam harinya, aku
diingatkan tentang untungnya bersikap terbuka. Setelah sepekan penuh
menjadi pengajar, begitu selesai aku justru menjadi siswa.

Sekarang setiap kali aku merasa suntuk - dan itu cukup sering - aku
memandang ke luar jendela dan mencoba menebak bentuk awan yang terlukis
di angkasa.
Dan aku teringat dengan Bradley, anak istimewa yang mengajariku
pelajaran itu.

(Joyce A. Harvey - Chicken Soup for the Unsinkable Soul)